Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak berarti negeri ini telah benar benar bebas dari penajaah asing, Jepang memang telah menyerah kepada sekutu setelah kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom namun tidak berarti segalanya telah selesai, penyerahan Jepang kepada sekutu dilakukan oleh South East Asia Command (SEAC) di bawah komando Laksamana Lord Louis Mounbatten, sedangkan pasukan sekutu yang bertugas di Indonesia adalah Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah komando letnan jendral Sir Philiip Christison, AFNEI merupakan bagian dari SEAC
Awalnya rakyat Indonesia menyambut gembira kedatangan sekutu yang membebaskan negeri in dari Jepang, Namun ternyata sekutu membawa pasukan NICA (Netherrlandas Indies Civil Administration), yaitu pasukan Belanda. Pertempuranpun tak terhindarkan untuk mempertahankan kemerdekaan negeri ini yang baru beberapa bulan diproklamasikan.
Pada 10oktober 1945 sekutu dan NICA menguasai Medan, Palembang, Padang dan Bandung, Lalu pada 19 Oktober 1945 Semarang pun berhasil dikuasai, Di Surabaya, kontak fisik telah terjadi antara arek arek suroboyo dengan pasukan Belanda Yang mendarat sejak September
Pemerintah saat itu sedang sibuk menyusun birokrasi negeri yang baru berdiri ini, melihat situasi yang mulai tidak terkendali, presiden Soekarno mengirim seseorang untuk menemui Kiyai Hasyim Asyari di Tebuireng, orang tersebut disuruh Presiden Soekarno untuk bertanya kepada Kiyai Hasyim bagaimana hukumnya perang membela tanah air, pertanyaan Presiden Soekarno ini bukanlah pertanyaan untuk mencari jawaban, tapi meminta kepada kiyai Hasyim agar ikut turun tangan mencari jawaban, tapi meminta kepada kiyai Hasyim agar ikut turun tangan mencari solusi atas kekacauan situasi negeri ini
Kiyai hasyim segera memanggil kiyai wahab tambakteras, kiyai Bisri Denanyar, dan para kiai lainnya, kemudian HBNO (Sekarang PBNU) segera membuat undangan untuk disebarkan kepada seluruh pengurus Nu atau para kiai di Jawad an Madura. Mereka diminta segera berkumpul di kantaor PB Ansor Nadhlatoel Oelama (ANO) di jalan Bubutan Surabaya.
Pada 21 oktober 1945 para kiyai telah berdatangan dan menunggu apa yang akan dimusyawarahkan. Kiyai Hasyim meminta mereka untuk menunggu ketadangan para kiyai dari jawa barat yaitu KH Abbasdari pesantren Buntet Cirebon, KH Satori dari pesantren Arjawinangun Cirebon, KH Amin dari pesantren Ciwaringin Cirebon, dan KH suja’I dari Indramayu. Setelah semuanya berkumpul barulah rapat ini dimulai, rapat ini dipimpim oleh kiyai Wahab, Hasilnya, Kiyai Hasyim atas nama HBNO mendeklarasikan seruan jihad yang lebih dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad.
Isi resolusi jihad yang paling penting adalah kewajiban berperang bagi umat islam yang tinggal di radaius 94 kilometer dari Surabaya, jarak 94 kilometer adalah jarak diperbolehkannya melakukan jamak dan qashar shalat, kewajiban ini bersifat individu atau fardhu ain. Bagi yang tinggal di luar radius 94 kilometer dari Surabaya, mereka berkewajiban membantu saudara saudaranya yang tinggal dalam radius 94 kilometer.
Ada 2 macam teks resolusi jihad,yaitu teks yang dibagi bagikan setelah rapat pada 21-22 Oktober 1945, dan teks yang disepakati pada muktamar NU ke 16 pada Maret 1946. Untuk mengenang peristiwa penting ini dibangun monumemn resolusi Jihad Nahdlatoel Oelama di sebelah kantor PCNU Surabaya yang beralamatkan di Jalan Bubutan VI Surabaya.
Akhirnya pada Tahun 2015 Presiden Joko Widodo menandatangi Keputusan Presiden No 22 Tahun 2015. Yang dimana pada surat keputusan itu menetapkan tanggal 22 oktober sebagai hari santri nasional. Kepres ini ditandatangani Jokowi pada hari kamis tanggal 15/10/2015 (sumber : kompas.com)
Jika kita saksikan sejarah diatas, maka reslusi jihad yang dicetuskan oleh para kiyai tanggal 22 oktober memiliki andil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, khususnya bagi arek-arek Suroboyo yang pada tanggal 10 november mengadakan perlawanan besar besaran kepada belanda. Bahkan ada sebuah ungkapan “TANPA 22 OKTOBER TAKKAN ADA 10 NOVEMBER”.
Oleh: Ahmad Budi Ahda, LC. MA
Disarikan dari Buku berjudul Nahkoda Nahdliyyin hal 27-29, penerbit zamzam tahun 2017